Bangsa Cina mendarat di Indonesia pada abad ke 5, di pesisir pantai Jawa
Timur. Mereka adalah pedagang yg berlayar untuk mencari rempah2, dan
kemudian karena satu dan lain hal, mereka menetap di Indonesia dan
berasimilasi dengan penduduk setempat. Para pedagang Cina ini juga
diyakini sebagai yg membawa agama dan tradisi Islam masuk ke Indonesia,
karena berkat Jalan Sutra, agama Islam yg berasal dari Arab, masuk ke
Cina melalui India. Bahkan menurut sejarah, beberapa orang dari Wali
Songo adalah keturunan Cina seperti Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan
Kalijaga, dan Sunan Gunung Jati. Hal ini merupakan sesuatu yg ironis di
masa pada jaman sekarang hanya sedikit orang Tionghoa yg memeluk agama
Islam. Mengapa bisa demikian?
Pada jaman Kolonial Belanda, tahun 1680, para pedagang Tionghoa memegang
peranan penting dalam perekonomian di Batavia. Bahkan usaha penjajah
untuk memonopoli pun terhambat dan mereka terpaksa berbisnis dengan para
pedagang Tionghoa tersebut. Akibatnya, penjajah merasa terancam karena
keberadaan orang Tionghoa secara tidak langsung menyokong kehidupan
pribumi di Indonesia, dan jika orang Tionghoa dan pribumi bersatu untuk
melawan, para penjajah akan kewalahan. Karena itulah, para penjajah
berusaha mengadu domba pribumi dan orang Tionghoa, dan mereka berhasil.
Pada tahun 1740, karena krisis ekonomi yg disebabkan oleh turunnya harga
gula di pasar global, Belanda hendak mengikis upah gaji para pekerja
dengan cara memindahkan para kuli, yg sebagian besar adalah pribumi, ke
Afrika. Padahal maksud sebenarnya adalah mereka bermaksud membuang para
kuli itu ke laut lepas diam2. Entah bagaimana caranya, isu tersebut
tersebar dan para pedagang Tionghoa di Batavia, menggalang kekuatan
untuk menyerbu kapal2 Belanda tersebut. Pertumpahan darah pun tidak
dapat dielakkan.
Akibat perlawanan tersebut, Belanda mengeluarkan perintah untuk
memeriksa dan melucuti para pedagang Tionghoa, namun yg terjadi
sebenarnya adalah pembantaian besar2an di mana dalam 3 hari,
50.000-60.000 orang Tionghoa dibunuh. Belanda juga mengeluarkan dekrit
bahwa orang Tionghoa lah yg berencana membunuh para kuli pribumi dan
mereka seolah2 bertindak sebagai penyelamat bagi orang2 pribumi.
Kemudian Belanda juga menjanjikan imbalan bagi setiap kepala orang
Tionghoa yg berhasil dibunuh. Inilah awalnya perselisihan antara
Tionghoa dan pribumi. Nama "Kali Angke" yg ada di daerah Jakarta Utara
berasal dari kata "Sungai Merah" yg menggambarkan kejadian pembantaian
saat itu di mana sungai2 menjadi warna merah oleh darah Tionghoa.
Pada jaman perang kemerdekaan, orang Tionghoa juga berperan penting
dalam perjuangan melawan menjajah di mana dalam BPUPKI terdapat 6 orang
Tionghoa yg berkontribusi dalam pembentukan UUD'45. Hanya sedikit orang
Tionghoa yg terjun langsung pada konflik bersenjata karena pada saat itu
jumlah mereka hanya sedikit. Pada jaman agresi militer, Belanda dan
Jepang melakukan blokade terhadap impor barang2 kebutuhan seperti sabun
dan peralatan memasak. Orang Tionghoa memegang peranan besar dalam
menyelundupkan barang2 itu masuk ke dalam negeri. Namun karena situasi
negara saat itu sedang kacau, tidak ada catatan jelas mengenai hal itu
sehingga peranan Tionghoa dalam perjuangan meraih kemerdekaan menjadi
blur.
Tahun 1955-1965, perselisihan pun terjadi antara pribumi dan Tionghoa di
mana Tionghoa dituduh "tidak patriotik" dan tidak ikut serta dalam
perang meraih kemerdekaan. Pemerintah Indonesia saat itu pun akhirnya
mengeluarkan peraturan yg membatasi peran Tionghoa dalam politik. Hal
itu menyebabkan orang Tionghoa pun lebih fokus dalam bidang perdagangan
dan industri. Kemajuan para Tionghoa dalam perekonomian ternyata kembali
menyebabkan perselisihan di mana para Tionghoa dituduh sebagai agen
kolonial dan menerima suap. Pemerintah pun memerintahkan para pedagang
Tionghoa untuk menutup usahanya di kota2 besar dan memindahkan mereka
dengan paksa ke daerah2 seperti Kalimantan dan Palembang. Saat itu
kurang lebih ratusan ribu orang Tionghoa "dibuang", dan 42.000 yg
dituduh membangkang dibunuh.
Sebagai protes, banyak orang Tionghoa yg mencoba pulang kembali ke
negara asalnya, hanya untuk menemukan bahwa mereka tidak diterima di
sana karena dianggap sudah "tidak berdarah murni" Hal ini menyebabkan
orang2 Tionghoa di Indonesia kehilangan jati diri, karena mereka bukan
Indonesia dan juga bukan Cina. Akhirnya sebagian dari mereka pindah ke
negara2 lain seperti Malaysia, Singapura, dan Brazil.
Pada jaman pemerintahan Soeharto, orang Tionghoa di Indonesia diharuskan
mengganti nama mereka dengan nama Indonesia. Hal ini merupakan sesuatu
yg sangat pedih karena mereka menjadi kehilangan marga dan nama keluarga
mereka. Segala tradisi yg berbau Cina diharamkan, dan bahasa Mandarin
pun dilarang karena mereka dituduh menyebarkan paham komunis. Di
beberapa daerah juga hal ini disangkut pautkan dengan agama di mana
orang Tionghoa dianggap tidak menghormati agama Islam dan tradisi muslim
dan dibunuh. Pada periode 1965-1975, aparat dapat dengan seenaknya
mengeksploitasi orang Cina dengan merampok dan memperkosa keluarga
mereka. Cara satu2nya untuk survive pada masa itu adalah dengan
menyogok.Bahkan para Tionghoa yg berjasa bagi Indonesia pun ditangkap,
dipenjara, dan dibunuh, dan hal ini menyebabkan orang Tionghoa menjadi
memisahkan diri dengan Indonesia. Mereka tidak senang disebut sebagai
warga "Indonesia" Hal ini terjadi hingga hari ini. Walaupun generasi
muda saat ini tidak seekstrim leluhurnya dalam menjalani tradisi
Tionghoa, tapi tetap mereka merasa berbeda dan menjaga jarak dengan
pribumi. Budaya mereka menjadi lebih kebarat-baratan, karena banyak
orang tua Tionghoa memilih untuk menyekolahkan anak mereka ke Amerika
atau Eropa.
Pada kerusuhan 1998, orang Tionghoa dituduh menjadi biang krisis ekonomi
dan KKN di Indonesia karena mereka sering menggunakan sogokan untuk
mendapatkan kemudahan dari pemerintah. Ratusan ribu orang Tionghoa di
Indonesia, dibunuh, diperkosa, dan milik mereka dijarah massa. Hal ini
menyebabkan banyak orang Tionghoa memutuskan untuk lari dari Indonesia,
dan pindah ke negara2 tetangga seperti Australia dan New Zealand. Dan
bahkan setelah reformasi, sebagian besar memutuskan untuk tidak kembali
ke Indonesia karena mereka menemukan bahwa negara2 barat lebih
menghormati hak2 mereka ketimbang Indonesia.
Ada blog yg ngebahas soal kerusuhan Mei, untuk jelasnya mengenai situasi saat itu, baca aja di sini
Setelah reformasi, pada masa pemerintahannya, Gus Dur mencabut larangan
bagi orang Tionghoa untuk berpartisipasi dalam pemerintahan. Kwik Kian
Gie dijadikan menteri perekonomian. Gus Dur juga memberikan ijin bagi
orang2 Tionghoa untuk menjalankan tradisinya tanpa harus meminta ijin
kepada pemerintah. Pada masa pemerintahan Megawati, hari raya Imlek pun
ditetapkan sebagai hari libur nasional.
Setelah 45 tahun dilarang di Indonesia (sejak tahun 1965), pada tahun
2000, Metro TV menjadi stasiun TV pertama yg menggunakan bahasa
mandarin. Pada tahun 2006, pemerintah mengeluarkan undang2 yg menghapus
segala perbedaan antara Tionghoa dan pribumi. Dan pada tahun 2007, SBY
meresmikan istilah "Tionghoa" sebagai nama bagi penduduk keturunan Cina
di Indonesia.
---
So, setelah membaca uraian di atas, bisa kita lihat bahwa pada awal
mulanya, orang Tionghoa dan pribumi hidup berdampingan. Diskriminasi
terjadi akibat usaha penjajah untuk memecah belah Indonesia. Berbagai
usaha perbaikan telah dilakukan oleh pemerintah, namun luka yg telah
mendarah daging selama berbagai generasi tidaklah semudah itu untuk
dihapuskan.
Marilah kita sebagai generasi muda, belajar dari kesalahan pada leluhur
kita, untuk bersikap kritis. Jangan mudah diadu domba oleh pihak2 yg
tidak bertanggung jawab. Diskriminasi adalah sebuah hal yg menginjak2
martabat dan hak asasi manusia, dan perbedaan SARA adalah sebuah
kekayaan budaya bangsa yg harus kita hargai. Satu nusa, satu bangsa.
Bhinneka Tunggal Ika.
Sumber: anak bangsa
No comments:
Post a Comment