Gelar haji Konon hanya dipakai oleh
bangsa melayu. Tidak ada dalil yang mengharuskan jika setelah
menunaikan ibadah haji harus diberi gelar haji/hajjah. Bahkan sahabat
Rasulullah pun tidak ada yang dipanggil haji.
Sejarah pemberian gelar haji dimulai pada tahun 654H, pada saat
kalangan tertentu di kota Makkah bertikai dan pertikaian ini
menimbulkan kekacauan dan fitnah yang mengganggu keamanan kota Makkah.
Karena kondisi yang tidak kondusif tersebut, hubungan kota Makkah
dengan dunia luar terputus, ditambah kekacauan yang terjadi, maka pada
tahun itu ibadah haji tidak bisa dilaksanakan sama sekalai, bahkan oleh
penduduk setempat juga tidak.
Setahun kemudian setelah keadaan mulai membaik, ibadah haji dapat
dilaksanakan. Tapi bagi mereka yang berasal dari luar kota Makkah
selain mempersiapkan mental, mereka juga membawa senjata lengkap untuk
perlindungan terhadap hal-hal yang tidak diinginkan. Dengan perengkapan
ini para jemaah haji ibaratkan mau berangkat ke medan perang.
Sekembalinya mereka dari ibadah haji, mereka disambut dengan upacara
kebesaran bagaikan menyambut pahlawan yang pulang dari medan perang.
Dengan kemeriahan sambutan dengan tambur dan seruling, mereka
dielu-elukan dengan sebutan "Ya Hajj, Ya Hajj". Maka berawal dari situ,
setiap orang yang pulang haji diberi gelar "Haji".
Gelar Haji di Indonesia
Di zaman penjajahan belanda, pemerintahan kolonial sangat membatasi
gerak-gerik umat muslim dalam berdakwah, segala sesuatu yang berhubungan
dengan penyebaran agama terlebih dahulu harus mendapat ijin dari pihak
pemerintah belanda. Mereka sangat khawatir dapat menimbulkan rasa
persaudaraan dan persatuan di kalangan rakyat pribumi, lalu menimbulkan
pemberontakan.
Ilustrasi K.H. Hasyim Ashari |
Masalahnya,
banyak tokoh yang kembali ke tanah air sepulang naik Haji membawa
perubahan. Contohnya adalah Muhammad Darwis yang pergi haji dan ketika
pulang mendirikan Muhammadiyah, Hasyim Asyari yang pergi haji dan
kemudian mendirikan Nadhlatul Ulama, Samanhudi yang pergi haji dan
kemudian mendirikan Sarekat Dagang Islam, Cokroaminoto yang juga berhaji
dan mendirikan Sarekat Islam.
Hal-hal
seperti inilah yang merisaukan pihak Belanda. Maka salah satu upaya
belanda untuk mengawasi dan memantau aktivitas serta gerak-gerik
ulama-ulama ini adalah dengan mengharuskan penambahan gelar haji di
depan nama orang yang telah menunaikan ibadah haji dan kembali ke tanah
air. Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Pemerintahan Belanda
Staatsblad tahun 1903. Pemerintahan kolonial pun mengkhususkan P.
Onrust dan P. Khayangan di Kepulauan Seribu jadi gerbang utama jalur
lalu lintas perhajian di Indonesia.
Jadi
demikianlah, gelar Haji pertama kali dibuat oleh pemerintahan kolonial
dengan penambahan gelar huruf "H" yang berarti orang tersebut telah
naik haji ke mekah. Seperti disinggung sebelumnya, banyak tokoh yang
membawa perubahan sepulang berhaji, maka pemakaian gelar H akan
memudahkan pemerintah kolonial untuk mencari orang tersebut apabila
terjadi pemberontakan.
Uniknya,
pemakaian gelar tersebut sekarang malah jadi kebanggaan. Tak lengkap
rasanya bila pulang berhaji tak dipanggil "Pak Haji" atau "Bu Hajjah".
Ritual ibadah yang berubah makna menjadi prestise? Ironis...
No comments:
Post a Comment